Senin, 19 April 2010

MASA PRO KEMERDEKAAN

RECLASSEERING
PRA PROKLAMASI KEMERDEKAAN
REPUBLIK INDONESIA


A. Masa Penjajahan Belanda dan Penjajahan Jepang

Data akurat yang menjabarkan peranan dan eksistensi Reclasseering terdapat dalam KUHPidana yang telah dipersiapkan sejak tahun 1915. Reclasseering adalah Lembaga Penyeimbang antara terhukum dengan hukuman/aturan yang diberlakukan kepadanya, dimana sekalipun telah divonis Hakim, namun terhukum masih diberi peluang mendapatkan "Pembinaan" di luar tembok penjara seperti diatur dalam Ordonnansi Reclasseering yang khusus dirancang dan dibuat untuk orang-orang hukuman.
Terlepas dari konteks Negara Jajahan atau Pemerintah Kolonial, Reclasseering bertitik-tolak dari maksud mulia, yaitu mengangkat Harkat dan Martabat Manusia. Inilah salah satu alasan yang sangat mendasar, sehingga Mr Dr. Douwes Dekker beserta kawan-kawannya berusaha mengimplementasikan ''Gagasan Reclasseering" seperti dimaksud KUHPidana agar dapat dipergunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan Rakyat, khususnya para terhukum mendapatkan keadilan. Sekalipun Mr. Dr. Douwes Dekker berkebangsaan Belanda, namun memiliki hati nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.
Dikemudian hari Mr. Dr. Douwes Dekker berjuang bagi Kemerdekaan Bangsa Indonesia dengan nama Dr. Setia Budi dan menggunakan nama samaran dalam penulisan karangan/tulisan yang dikenal dengan nama Multatuli.

Pelaksanaan Pekerjaan Reclassering

Berdasarkan bukti Sejarah, Pelaksanaan Pekerjaan Reclassering di Indonesia telah dimulai sejak masa Penjajahan Belanda, yaitu bertolak dari Ordonansi tanggal 27 Desember 1917 - Staatsblad 1917 Nomor 749, dan mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1918.
Demikian pula ketentuan pelaksanaannya seperti yang diatur dalam KUHPidana Pasal 14, 15, 16 dan 17; Secara khusus diatur pula melalui Keputusan Kepala Negara (Pemerintah Hindia Belanda) tanggal 4 Mei l926 No. 18. Dalam hal ini terpidana dapat meminta kepada Badan Reclassering untuk pembebasan bersyarat dan / atau pembebasan dengan perjanjian apabila yang bersangkutan memenuhi syarat dan setelah mendapat persetujuan Menteri Kehakiman melalui mekanisme yang berlaku.

Tokoh Pemerhati Reclasseering

Kepedulian para pemerhati Kemanusiaan di Zaman Penjajahan Belanda, khususnya ketika "Reclasseering" mulai diaktifkan; Mula-mula diwujudkan melalui usaha membentuk wadah perjuangan yang ketika itu dikenal dengan sebutan "Perhimpunan Indonesia". Mr. Abdul Madjid Djojo Adhiningrat, Mr. Mohammad Hatta, Mr. Ali Sastroamidjojo dan Muhammad Nasir Datuk Pamuntjak adalah para tokoh pendiri "Perhimpunan Indonesia" di negeri Belanda sekitar tahun 1926 - 1927. Sekalipun mereka pada saat itu sebagai Mahasiswa Indonesia yang belajar di negeri Belanda, namun mereka menunjukkan kesetiaan dan pengabdiannya bagi Ibu Pertiwi.
Di antara tokoh pejuang kemerdekaan tersebut, seperti Prof. Abdul Madjid Djojo Adhiningrat berinisiatif membentuk "Organisasi Reclasseering" di Indonesia beserta tokoh lain misalnya H. Irlan mantan Kepala Kejaksaan Serang - Jawa Barat.


Tokoh Pejuang Indonesia di Negeri Belanda Dipenjarakan

Kegiatan utama dari Perhimpunan Indonesia ialah mengejar kemerdekaan Tanah Air dan Bangsa Indonesia. Aktifitas dan kegiatan mereka tersebut, khususnya seperti yang dimuat dalam majalah "Indonesia Merdeka" edisi nomor Maret- April 1927, telah menimbulkan semangat juang di antara para pemuda di Tanah Air, sehingga Pemerintah Hindia Belanda menganggap mereka telah mempropaganda rakyat Indonesia untuk menentang Penjajahan di Indonesia.
Akibat dari pergerakan tersebut, maka ke empat tokoh ini ditangkap dan ditahan dalam Bui di negeri Belanda sampai berbulan-bulan lamanya. Alasan penahanan tersebut ialah karena mereka dianggap telah melanggar pasal 131 Hukum Siksa Negeri Belanda. Kemudian demi penegakan hukum dan keadilan, maka ke empat tokoh Mahasiswa tersebut diajukan sebagai terdakwa oleh "Officier van Justitie" dengan tuntutan 2 sampai 3 tahun hukuman penjara dan atau dilarang masuk ke Indonesia.
Dalam penuntutan tesebut, ke empat tokoh yang telah ditahan dan diproses secara hukum mendapat pembelaan Hukum dari Advocaat Partai SDAP di negeri Belanda yang terdiri dari 2 (dua) orang Advocaat, yaitu Mr. Duys dan Mr. Mobach. Ternyata dalam putusan di pengadilan, Majelis Hakim menyatakan bahwa mereka bebas dari tuntutan.

Organisasi Reclasseering Pernah Didirikan Tahun 1931

Pengalaman tersebut di atas menunjukan bahwa Abdul Madjid Adhiningrat beserta kawan-kawan mendapat "Ide Reclasseering" untuk menjadi "salah satu sarana perjuangan", disamping organisasi- organisasi perjuangan yang sudah ada. Demikian pula setelah memahami bahwa missi dari Reclassering berkaitan dengan orang-orang terpenjara, baik Narapidana karena kejahatannya maupun para tahanan politik yang dianggap menentang kekuasaan Pemerintahan Belanda, maka harapan untuk me- "Nasional-kan" Reclasseering serta untuk menjadikannya sebagai salah satu Organisasi Perjuangan, sehingga pada tahun 1931 Organisasi ini berdiri. Adapun pelaksanaannya bertitik tolak dari Pasal 8 Ordonansi V.I. 1926 Nomor 488 khusus Jawa dan Madura.
Terlepas dari pengertian sebagai Lembaga Hukum dan HAM ; Reclasseering adalah Potensi Perjuangan bagi Kemerdekaan Bangsa Indonesia, sebab itu para pejuang Kemerdekaan Indonesia menjadikannya salah satu sarana/wadah dan alat perjuangan diantara kelompok-kelompok pejuang lainnya untuk menentang Kolonialisme Belanda dan Kekejaman Penjajahan Jepang. Sekalipun tidak menyatakan diri secara terang-terangan bahwa "Missi Reclassering" sebagai wadah perjuangan, namun eksistensinya tak dapat diragukan. Ketika itu semua organisasi yang berbau politik harus seizin/diketahui serta mendapat pengawasan ketat dari Pemerintah Penjajahan.
Digunakannya "Missi Reclassering" sebagai sarana perjuangan bawah tanah, karena secara faktual Reclassering telah diketahui Pemerintahan Penjajah sebagai "Lembaga HAM" yang mengurus orang-orang tahanan/penjara. Hal ini "memberi peluang" bagi gerakan pejuang bergerak leluasa, apalagi para tahanan/penjara merupakan salah satu "Potensi Kekuatan Perjuangan Kemerdekaan".
Haruslah diakui bahwa, Reclasseering di Zaman Belanda adalah Reclasseering yang masih kuat pengaruh Pemerintahan Penjajahan. Hal ini pula yang memperkuat semangat para pejuang kemerdekaan Bangsa Indonesia untuk memperkokoh perjuangan melalui "Organisasi Reclasseering" yang bergerak secara "siluman".

Pengalaman Khusus Ir. Soekarno Di Penjara

Para pejuang kemerdekaan, seperti telah diuraikan di atas secara nyata mengalami penderitaan, sehingga mereka tahu persis bagaimana keadaan dan kondisi dalam penjara, terutama sebagai penghuni Bui dengan tuduhan telah melakukan tindakan subversif atau menghimpun gerakan politik menentang Pemerintah Hindia Belanda.
Tokoh Pejuang Indonesia Merdeka lainnya yang juga pernah ditahan dalam penjara ialah Ir. Soekarno. Sejak awal beliau telah masuk Bui berkali-kali, hal ini terbukti pada tahun 1931 ditahan dan dipenjarakan hampir satu tahun penuh di Penjara Sukamiskin, Bandung - Jawa Barat.
Menurut fakta sejarah, penjara Sukamiskin dimana beliau ditahan, ruang tahanan berukuran 1,50 X 2,50 M2 dengan segala fasilitas dan makanan yang sangat dibatasi. Termasuk pekerjaan selama di penjara sangatlah menyiksa bathin serta tindakan kekerasan yang diberlakukan merusak badan.
Dua (2) tahun kemudian Ir. Soekarno dan rekan-rekan perjuangan lainnya ditangkap dan dibuang ke Endeh, Flores. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1933 dan berakhir sekitar tahun 1936. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar Ir. Soekarno terputus dan terhindar dari rekan-rekan pejuang kemerdekaan lainnya yang terus menerus mengadakan Rapat-Rapat untuk menuju kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Pemerintah Hindia Belanda tahu persis bahwa pengaruh dan propaganda Tokoh Pejuang ini sangatlah luas dan menjanjikan kepastian. Telah diketahui pula oleh Perintah Hindia Belanda bahwa, di negeri Indonesia pada waktu itu terdapat beberapa perkumpulan atau kelompok perjuangan kemerdekaaan, antara lain, Kaum Nasionalis, Kaum Pan - Islam, termasuk kelompok yang beraliran Komunis. Tetapi sejak awal, kenyataannya Ir Soekarno tetap dalam pendiriannya, yaitu konsep Nasionalis yang taat beragama sangat berseberangan dengan pihak Semaun yang Komunis itu. Apalagi kaum Pan-Islam, tentunya tak akan sejalan dengan kelompok Semaun tersebut. Walaupun mereka pernah memberontak kepada Pemerintah Hindia Belanda di akhir tahun 1920-an, tetapi prinsip kemerdekaan yang mereka tawarkan ialah Indonesia Merdeka dengan Ajaran Komunis atau Negara Komunis Indonesia.
Demikian sekilas pengalaman Ir. Soekarno di antara pengalaman lainnya, khususnya pengalaman ditahan dalam sebuah Penjara atau Bui Zaman Penjajahan Belanda karena tuduhan / dakwaan Politik dari Pemerintah Hindia Belanda.

B. Masa Penjajahan Jepang s/d Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia

Bangsa Indonesia Dalam Genggaman Jepang

Pemerintah Hindia Belanda di Indonesia kalah terhadap Dai Nippon dalam peperangan dan Bangsa Indonesia secara langsung jatuh ketangan Dai Nippon, terhitung sejak tanggal 11 Maret 1945. Para pejuang Bangsa Indonesia yang di penjara selama Belanda berkuasa tetap terbelenggu, termasuk beberapa titipan tahanan, seperti Kusen, Ponidjo, Mr. Amir Sjarifudin, Dr. Latumenten, dll.
Sejarah membuktikan bahwa Para Generasi Muda dan seluruh rakyat Indonesia menjadi alat Dai Nippon untuk kepentingan perang dan kekuasaan belaka. Hal-hal tersebut sebagai berikut :

1. Menjadi Tentara PETA (Pembela Tanah Air), yang dibentuk pada bulan Oktober 1943.
2. Menjadi Tentara Kerja Paksa (Romusha), yaitu menggali tanah perlindungan dipantai-pantai dan membuat goa-goa digunung-gunung sebagai pertahanan terhadap serangan tentara sekutu.
3. Para Romusha dikirim ke Bangkok, Malaysia, Korea dan Jepang sebagai pekerja bangunan, jembatan, rel kereta api, dll.
4. Para Romusha diharuskan membuat Sumur sedalam 100 m dengan lebar 2 m di Bayah - Banten Selatan
5. Para Pemuda Menjadi Tentara Hei-Ho.
6. Dilatih secara Militer di pusat latihan Militer Tangerang (Seinen Dojo), Kamikase, Tokubetsu, Dan lain-lain.
7. Lulusan Seinen Doyo (Selama 6 bulan) dikembalikan ke daerahnya dan ditugasi membentuk Seinendan (Barisan Pemuda)
8. Para Wanita dijadikan Fujinkai.
9. Orang-orang hukuman tanpa diproses/tidak jelas menjadi Inventaris Penjara.
10. Penduduk yang beragama Islam dilatih menjadi Juru bahasa Arab
11. Semua penduduk wajib menanam Pohon Jarak untuk bahan pelumas Kapal dan atau Pesawat tempur Dai Nippon.

Cita-Cita Para Generasi Muda

Ditengah-tengah penderitaan Bangsa Indonesia, yaitu jauh sebelum Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, diantara generasi muda Bangsa terdapat orang-orang yang memiliki cita-cita untuk segera membebaskan belenggu Bangsa Indonesia dari Penjajahan, tertutama dari Penjajahan Dai Nippon yang luar biasa kejamnya.
Fakta menunjukkan bahwa, ketika itu Hukum dan Sistem Peradilan yang biasanya digunakan tidak mampu menembus Undang-Undang Gun Sirei Jepang. Pengacara dan Advokat pun dimasa itu tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Ilham Reclasseering

Tercatat dalam sejarah bahwa, dimasa penjajahan Jepang setiap hari ratusan rakyat Indonesia yang diromushakan mati kelaparan, karena perlakuan Jepang yang sangat terkenal kejam; mereka dikuburkan disepanjang Pantai dan di dalam goa yang berada di gunung-gunung se- pulau Jawa dan Madura. Sedangkan bagi mereka yang bisa bertahan hidup rata-rata tinggal kulit melekat pada tulang dengan wajah kusut, pucat dan keriput.
Disaat-saat yang sangat krisis dan gawat menimpa Bangsa Indonesia tersebut, maka turunlah "Ilham Reclassering" bagi bangsa ini melalui sekelompok pemuda yang sangat mencintai Bangsa Indonesia. Dalam aktifitasnya, mereka menggunakan sandi dengan nama "Kelompok 41" (empat puluh satu ), karena bermula dari empat puluh satu orang, diantaranya Mr. R. Moestopo, Tubagus Ibnu Fadjar Goenadi Purwobelanegara, Mr. Bendoro Raden Mas Tjokrodiningrat, Kotot Sukardi, Umar Bahsan dan lain-lain.
"Ilham Reclasseering" ini tentunya bermakna positif, yaitu agar "Potensi Reclasseering" dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi perjuangan kemerdekaan bangsa. Dengan kata lain "Reclasseering" diproses secara alami menjadi Reclassering Republik Indonesia. Hal ini bergulir ditengah-tengah semangat perjuangan sekitar tahun 1942.

Barisan Berani Mati

Keadaan yang demikian itu melahirkan semangat juang Rakyat, sehingga diantara "Kelompok 41" terdapat beberapa orang dengan sengaja masuk menjadi Pekerja Paksa atau Romusha menggantikan orang-orang penjara yang diromushakan.
Mereka ini dikenal dengan sebutan Pasukan Siluman, karena terbukti mereka tidak mempan dibacok dan tidak tembus ditembak. Mereka itu adalah orang-orang yang mampu "terlepas" dari pemancungan para Algojo Dai Nippon.
Dibarengi dengan kebulatan tekad dan semangat juang yang luar biasa, mereka rela terbelenggu dipenjara demi membebaskan bangsa ini dari belenggu Dai Nippon, maka dengan taktik tersebut seakan-akan seluruh penjara Jawa dan Madura menjadi tempat latihan barisan berani mati.
Mereka ini merupakan bagian dari kekuatan perjuangan bangsa yang mempersiapkan diri ditengah-tengah penderitan dan himpitan penjara. Di masa itu, kelompok tersebut sering disebut sebagai pasukan setan atau siluman. Sebutan ini antara lain menjadi salah satu sandi perjuangan dalam perjuangan kemerdekaan / pertempuran melawan penjajah.

"Kelompok 41" dan Pembacaan Teks Proklamasi

"Kelompok 41" ini juga berperan sebagai pelopor-penghubung dalam proses pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan R.I., diawali dengan riwayat singkatnya, yaitu sekitar tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.00 WIB Rombongan Proklamator, termasuk Bung Karno dan Bung Hatta, ibu Fatmawati dan putranya yang masih bayi yang bernama Guntur "terpaksa" meninggalkan Jakarta, dibawa dan dikawal ke Rengasdengklok. Rombongan Proklamator dapat kembali ke Jakarta pada Malam Jumat Legi, yang tiba tengah malam pukul 23.00. WIB. Bung Karno dan Ibu Fatmawati berserta bayi Guntur yang masih berumur 8 (delapan) bulan kembali ke rumahnya di jalan Pegangsaan Timur 56, sedangkan Bung Hatta di rumahnya dijalan Syowa Dori (Sekarang Jl. Diponegoro No. 57) Jakarta.
Peristiwa ini dikenal dengan sebutan "penculikan terhadap proklamator" karena ketika itu Jepang berjanji memberi Kemerdekaan kepada bangsa Indonesia sebagai hadiah, mengingat Bung Karno diangkat oleh pihak Jepang sebagai Ketua Tyuu Gi Kai dan Mohammad Hatta sebagai wakilnya, Namun janji hanya tinggal janji belaka. Maka tindakan "penculikan paksa" dilakukan, meskipun hal tersebut sangat berisiko.
Perasaan lega bercampur cemas meliputi benak-hati setiap anggota rombongan Proklamator dan para pejuang yang mengikuti serta mengawal pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan, karena suasana gawat dan genting, mengingat Penguasa Dai Nippon masih belum rela melepaskan Negara Indonesia untuk bebas dan merdeka, tetapi tekad untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan/kekejaman Dai Nippon sudah bulat, yaitu "Harus Merdeka". Setelah sukses memuluskan proses pembacaan Proklamasi Kemerdekaan R.I., para pejuang termasuk pejuang yang tergabung dalam "kelompok 41" berpencar ke daerah-daerah sambil menyebarkan berita tentang kemerdekaan Bangsa Indonesia kepada seluruh rakyat sampai ke pelosok tanah air melalui media, baik radio, surat-surat khabar maupun pamplet-pamplet.

Bung Karno, Mr. BRM. Tjokrodiningrat dan Mr. R. Moestopo

Berkaitan dengan "Reclasseering", yaitu sebelum Bung Karno memerintahkan Mr. R. Moestopo agar membuka dan membebaskan para tahanan atau orang-orang dalam penjara/tawanan perang diseluruh tanah air, karena hal ini dianggap sebagai potensi perjuangan Bangsa Indonesia. Mr. BRM. Tjokrodiningrat adalah seorang tokoh Reclasseering Indonesia yang terlebih dahulu telah memberikan advis / masukan dan mengusulkan kepada Bung Karno gagasan "Reclasseering" tersebut agar menjadi Reclasseering Republik Indonesia, advis yang pertama disampaikan pada tanggal 16 Agustus 1945 di Jakarta menjelang pembacaan Teks Proklamasi Kemerdekaan RI dan kedua disampaikan setelah Proklamasi Kemerdekaan, tepatnya pada tanggal 6 Juni 1946 di Yogyakarta yang bertujuan agar Reclasseering segera berbadan Hukum, sebab sebelumnya Reclasseering sebagai organisasi kekuatan perjuangan yang hanya berbekal "Saran / Perintah bersifat moral".
Demikian juga gagasan ini muncul karena keprihatinan terhadap orang-orang yang dipenjara / para tawanan perang ditinjau dari sudut kepentingan Hukum dan Kemanusiaan (Untuk Mengangkat Harkat-Martabatnya sebagai Manusia), maksud lain dari usulan/advis tersebut ialah agar secara administratif "Reclasseering" memiliki status, yaitu menjadi "Reclasseering milik Bangsa Indonesia".

Tidak ada komentar: